Temu Inklusi 2018 di Plembutan, Gunungkidul


IMG_20181024_141129.jpg

Mas Eko, meracik kopi di booth Barista Inklusi

“Bunda, Om ini enggak punya tangan?” Si bungsu menanyai saya lagi. Matanya melebar, dia takjub melihat video seorang Om, salah satu difabel yang meracik kopi saat temu inklusi, bisa membuat kopi.

“Hebat ya, Nda!” begitu katanya. Inilah oleh-oleh berharga bagi saya saat diundang ke sebuah acara. Pengalaman dan hikmah yang menyertainya. Untuk apa? Untuk saya bagi lagi dengan orang-orang di sekitar saya. Termasuk anak-anak.

Pagi sebelum cahaya mentari menggerogoti, saya berjalan keluar rumah. Melewati gang demi gang, lalu berbelok ke kanan. Di depan masjid dekat rumah, saya menunggu Mas ojek online datang menjemput. Ya, hari itu saya akan pergi sendiri. Jalan-jalan tipis sementara waktu. Saya dan beberapa kawan blogger diundang dalam sebuah acara akbar pada tanggal 24 Oktober 2018. Temu Inklusi 2018 ke-3 di desa Plembutan, Gunungkidul yang berlangsung dari tanggal 22 sampai 26Oktober 2018 ini.

Berbekal tas biru tua rajutan dan ransel abu-abu, saya menapakkan kaki di parkiran Abu Bakar Ali. Di sanalah meeting point kami. Sebuah mobil long body berplat AB menanti kami berkumpul. Mobil dan pak supir ini akan membawa kami ke daerah baru. Bismillah, starter mobil dinyalakan dan kami pun jalan.

Sebelum sampai tempat, saya sudah sedikit riset tentang inklusi difabilitas. Tadinya saya hanya paham apa itu disabilitas. Nah, sebenarnya apa itu difabilitas? Apa bedanya dengan disabilitas?

Difabilitas dan Disabilitas, Bedanya Apa?

IMG_20181024_085014

Acara Temu Inklusi #3 di Desa Plembutan

Difabilitas berasal dari bahasa Inggris yaitu difable (different ability-kemampuan berbeda). Dalam Wikipedia.org yaitu seseorang yang memiliki kemampuan dalam menjalankan aktivitas berbeda bila dibandingkan dengan orang-orag kebanyakan. Dalam hal ini, bukan berarti cacat atau disabled ya. Nah, untuk disabilitas sendiri berasal dari kata disability yaitu seseorang yang belum mampu berakomodasi dengan lingkungan sekitarnya.

Jadi kalau bisa saya perjelas, kata difabilitas itu lebih smooth. Memperhalus kata disabilitas yang asalnya ketidakmampuan tubuh sebagaimana orang normal. Difable yang merupakan akronim different abilities ini ditujukan untuk menyebut orang-orang yang memiliki kelainan dan kekurangan fisik. Di ranah internasional kata disability ini masih mengundang kontroversi, maka seringnya mereka memakai kata-kata people with mobility problem, dll.

Di balik semua kontroversi tersebut, acara temu inklusi ketiga ini hadir membuka cakrawala luas kepada khalayak ramai. Temu inklusi yang diadakan di desa Plembutan, Kecamatan Playen, Gunungkidul ini adalah acara yang menyebarkan tentang inklusi kepada stakeholder, baik pmerintah daerah, pemerintah pusat juga LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Acara dua tahunan ini diinisiasi oleh Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB). Acara yang diselenggarakan di desa Plembutan ini karena menjadi desa menuju inklusi sosial #IDInklusif. Dilihat dari pembangunan gedung balai desa yang bertema inklusi seperti jalan masuk kursi roda dan toilet geser yang mudah untuk dimasuki kursi roda.

Media dan Difabilitas

IMG_20181024_090556

Di balai Dukuh Papringan, Forum Diskusi Media dan Difabilitas diselenggarakan

Forum diskusi yang diselenggarakan oleh temu inklusi ini ada banyak tema. Kami dibagi menjadi tiga grup kecil untuk mengikuti tiga tema. Saya kebagian mengikuti tema Media dan Difabilitas. Dalam forum diskusi ini saya ketemu pembicara keren-keren. Ada mas Ken Karta founder dari Lingkarsosial.org  asal Malang dan dari pihak AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) ada Mas Tomi. Forum berjalan lancar dan kami mendapatkan banyak hikmah dari sana.

IMG_20181024_092215

Mas Ken Kerta sedang membagikan pengalamannya membuat media khusus isu difabilitas.

Media saat ini banyak menampilkan hal-hal yang berhubungan dengan mayoritas (umum). Para difabilitas yang notabene adalah masyarakat minoritas kurang mendapat sorot. Untuk memberi informasi akan difabel, media bisa menjadi salah satu sarana tercepat menyebarkan isu-isu ini. maka, media bisa digunakan untuk menyuarakannya. Berawal dari sanalah Mas Ken Kerta memberitakan isu-isu difabilitas. Laman lingkarsosial.org adalah media yang aktif memberitakan hal ini.

Namun sayangnya, para difabilitas masih merasa kurang bersahabat dengan media. Merasa kurang percaya diri membagikan apa-apa yang menjadi inspirasi dan hikmah dari dirinya. Maka dari forum diskusi tersebut, kami semua mengharapkan dari stakeholder mampu memfasilitasi para difabilitas untuk bisa menyuarakan dan memberi tahu akan kehidupannya dari media. Entah dalam pelatihan khusus teknologi informasi untuk para difabilitas atau membuat gebrakan-gebrakan baru dalam mendukung para minoritas.

Aliansi Jurnalis Indonesia yang diwakili Mas Tomi membagikan informasi tentang kegiatan para jurnalis memberitakan isu terkini. AJI juga sudah sering wara-wiri berdiskusi dengan para difabilitas. Ada hal-hal yang memang harus mendapat perhatian untuk stakeholder menyikapi isu difabiltas. Para difabel pun di-support untuk tak lelah berjuang menyuarakan haknya. Media yang bisa dipakai bisa dari blog gratisan, dan media sosial seperti facebook, instagram atau twitter.

Bahwa yang Kita Lihat Kurang, Itulah yang Lebih

IMG_20181024_141303

Booth Barista Inklusi #IDInklusif

Seperti hukum keseimbangan dalam ilmu alam, bahwa suatu energi yang mengalir ke tempat yang kurang untuk membuat lingkungannya seimbang. Seperti itu juga para difabel yang saya temui. Mereka yang saya kira tak mampu menafkahi dengan cara yang orang normal lakukan, ternyata bisa membuat kopi yang nikmatnya lebih dari yang bsia saya buat. Hahaha.

Di salah satu booth yang disediakan, saya memasuki Barista Inklusif. Sebuah booth yang menyediakan kopi yang diracik dari biji kopi giling dan mempunyai tagar #KarenaKopiKitaSetara. Dengan kedua lengannya, dia sibuk menyiapkan gelas-gelas platik. Seorang temannya menimbang biji kopi yang nantinya akan digiling. Mas Eko dengan sigap menuang air kopi yang telah digiling dan menambahkan susu.

Saya memesan kopi V-60 dengan es dan susu. Sungguh nikmat di tengah teriknya mentari siang itu. Kami para pembeli, duduk di depan booth #BaristaInklusif menanti Mas Eko meracik satu demi satu pesanan kami tanpa lelah. Barista inklusi ini sendiri adalah program kerja sama dari Program Peduli (www.programpeduli.org), @staracoffee dan Pusat Rehabilitasi Yakkum Yogyakarta. Mas Eko merupakan salah satu peserta dari pelatihan program tersebut.

Seperti yang anak saya katakan, bahwa Mas Eko tadi hebat. Tidak seperti kami yang memiliki tangan utuh dengan jari-jarinya. Mas Eko berjuang berkarya dengan lengannya tanpa lelah. Bahwa apa yang Allah firmankan itu benar adanya. Dia takkan memberikan sesuatu yang hamba-Nya tak mampu. Seperti itulah, keterbatasannya tak menyurutkan langkahnya meracik kopi. Bahwa beliau mampu, dengan semua kelebihannya yang tidak semua orang punya. Tekad yang kuat.

Menuju Masyarakat Inklusi

Dari semua hal yang sudah saya dapatkan dari acara ini, masyarakat inklusi itu nyata. Walaupun ranahnya seperti bayi yang belajar berjalan. Pelan-pelan dan bertahap demi langkahnya yang pasti. Ada harapan besar di sana, di mana nantinya dunia ini mengakui ada difabilitas.

Di mana nantinya semua memberikan trotoar yang ramah difabel, ketersediaannya jalan ramah difabel dan banyak fasilitas yang mendukungnya. Bahwa perbedaan itu bukan untuk dihindari, tapi untuk dirangkul. Bahwa kita semua setara, apapun latar belakangnya.https://youtu.be/XW85sa07Slc


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *